Serba serbi isi perut mahasiswa

Mahasiswa perantauan dituntut untuk bisa bertahan hidup. Dalam kondisi seperti apapun.
Dalam menyikapi kehabisan uang sebelum tanggal tua, mahasiswa cerdas memutar otak guna tetap bisa makan. Setidaknya jangan sampai mati kelaparan lah. Saat momen indah bersama limpahan uang itu hilang, dari yang awalnya geprek, penyet, opor, rendang, pokoknya semua yang berdaging, kita beralih mengincar sekawanan nasi tempe, nasi tahu, semua makanan yang satu porsi jumbo bisa kurang dari 5 ribu. Dalam kondisi seperti ini, mahsiswa mengandalkan teknik survey dan observasi guna menilik warung mana yang mematok harga paling murah, dan porsi paling banyak. Jauhnya jarak bukan masalah. Asal isi dompet masih bisa dimanfaatkan untuk kehidupan.
Biasanya survey dan observasi dilakukan secara berkelompok. Biasanya teman sekamar atau gak teman sekelas. Trik ini guna menghindari malu jika harga terlalu tinggi, sehingga kita bisa berdalih "bro tambahin dulu ya." Bukan memanfaatkan teman, hal ini biasa kita namakan gotong royong. Hehe.
Setelah survey dilakukan, mahasiswa yang notabene adalah insan ilmiah pasti melakukan olah data. Dan gak sembarangan. Dilihat dari sisi kuantitatif dan kualitatif, akhirnya terpilih lah warung favorit mahasiswa untuk beberapa hari ke depan. Kalau sudah begini, intensitas makan bisa saja berkurang jadi 2 kali sehari. Pagi nasi tempe, malam nasi tempe. Besok nasi tempe, terus nasi tempe sampai habis nasi tempe gak mau makan saking favoritnya sama nasi tempe. Menunya itu itu saja. Maklum, yang paling murah.
Pelarian kedua yang mungkin bagi mahasiswa adalah kucingan atau angkringan. Kenapa? Karena hampir merata di seluruh kucingan mematok harga 2 ribu per porsi nasinya. Masalah yang dihadapi adalah kucingan mana yang memberikan nasi paling banyak seporsinya. Jalan keluarnya? Tetap observasi dan survey lah. Hehe.
Sebelum mencapai titik nol, kita akan buru buru memasok amunisi. Mi instan isi 2, telur secukupnya, kadang susu, sereal, dan obat maag juga. Eh, obat maag? Iya untuk antisipasi pas gak bisa makan sehari. Biar gak sakit kan, ya meskipun kalau sakit tetap bisa berobat gratis sih, di kampus. Selain untuk persediaan, pembelian besar besaran juga berfungsi untuk mendapatkan harga potongan. Duh.
Persediaan sudah, sekarang bagaimana memanfaatkan peralatan kos yang ada. Kompor dan pasukannya kita gak punya? Tenang. Masak mi instan gak harus di atas wajan. Cari saja siapapun yang mempunyai penanak nasi, biasanya spesies ini selalu ada 1 di setiap rumah kosan. Tuang air secukupnya, masak hingga mendidih. Air sebagian untuk seduh susu, sereal, asal jangan seduh obat maag ya. Sedangkan sisa airnya, kita gunakan untuk menyulap mie instan mentah jadi layak makan dan masuk perut dengan lancar. Gak sehat? Ah biarkan. Toh sakit sepertinya lebih baik daripada mati kelaparan.
Sekian dulu dari saya. Teruslah bertahan hidup kawan. Salam.

Comments